these are the moments

Selasa, 19 Oktober 2010

Remember the Fire and the Haze (2009)

The forest fire seems to be an annual disaster in Riau Province for years. I became a bearing witness about how human so dishonoured the nature with burnt forest and peat land for their own benefit. In 2009, more than 10.000 hectare of forest and peat land were ruined due to the fire.

Using fire as the conventional way to clear the land still become the easier way for farmers, even for some companies untill now. They seem dont realize the impact of the burning peat land not only produce thick haze, but also release million of carbon into the air and contribute for the global warming. Thats why Riau is getting so hot, 34-36 degree in celcius, because the temperature is rising 2 degree this year.

The disaster now emerge once again this year. The goverment published the data that more than 5.000 hectare of peat land was already burnt since early Oktober. And before it getting worst, these are some pictures about the fire and the haze that i captured in 2009.


                                                        
     

Minggu, 17 Oktober 2010

Ada Apa Di Balik Penyerahan Ribuan Komputer Chevron?

Ada kalimat yang lazim dikenal dalam dunia komunikasi dan kehumasan: "baik atau buruk, itu publikasi". Artinya, cara apapun adalah sah dan bisa digunakan untuk mendongkrak popularitas atau pencitraan si subjek publikasi.


Sejumlah media massa lokal di Riau pada 14 Oktober lalu memuat berita mengenai penyerahan ribuan komputer dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke institusi pendidikan. Sebenarnya, berita itu merupakan rilis pers yang dibuat humas kontraktor migas itu dan dibagikan kepada wartawan sehari sebelumnya.

Rilis itu berjudul: "CPI Siap Serahkan 3.084 Komputer untuk Institusi Pendidikan di Riau". Secara kasat mata berita itu sangat menarik karena dari judulnya sudah bombastis dengan adanya jumlah angka komputer yang mencapai ribuan. Penyerahan komputer itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi yakni Kemal Prihatman, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau Irwan Effendi, perwakilan dari Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI) Betti Alisjahbana, serta para kepala sekolah dan guru.

’’Program ini bagian dari peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama melalui pendidikan. Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pemerintah yang telah mendukung program yang sangat selaras dengan program kami ini. Program ini sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan di sekitar wilayah operasi kami,’’ ujar Djati Sussetya selaku GM Policy, Government, and Public Affairs (PGPA) CPI dalam berita itu.

Dijelaskan, bahwa CPI sebagai inisiator program ini mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Selain itu, juga dituliskan bahwa komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI namun masih sangat layak pakai dengan spesifikasi Pentium-4. Dalam berita itu dituliskan, inisiatif program semacam ini diharapkan mampu meningkatkan akses pengetahuan dan keterampilan para siswa di sekolah-sekolah di sekitar wilayah kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang berada di bawah koordinasi BPMIGAS.

“Sekolah yang terpilih masing-masing akan menerima 23 unit komputer. Program semacam ini juga pernah dilakukan CPI pada 2001, yakni menyalurkan lebih dari 2.000 unit komputer ke berbagai SMA, perguruan tinggi, dan Dinas Pendidikan Provinsi Riau, serta kelengkapan laboratorium komputer di berbagai SMA di Provinsi Riau,” ungkapnya.

Selain itu, pada akhir berita itu dituliskan, Chevron mendonasikan sekitar 1.600 komputer kepada institusi-institusi pendidikan pada tahun ini di sekitar wilayah operasi Chevron yakni selain di Riau juga didistribusikan di Jakarta dan Jawa Barat sebanyak 900 unit, serta Kalimantan Timur sebanayak 700 unit.

Aset Negara

Orang awam setelah membaca berita itu kemungkinan besar akan berpikir bahwa sungguh mulia CPI mau memberikan ribuan komputer langsung kepada insitusi pendidikan. Bukan itu saja, kita sebagai orang biasa tentu akan menilai CPI sangat konsisten memberikan bantuan komputer untuk pendidikan sejak tahun 2001.

Namun, kawan, mari sejenak kita bersikap kritis, bagaimana jika opini publik semacam itu yang diinginkan dan berusaha dibentuk oleh perusahaan.

Mari kita kaji rilis berita itu menggunakan analisa isi atau konten. Pada judul berita itu dituliskan kata-kata "Siap Serahkan" dan kemudian kita buat pertanyaan mengapa kalimat itu dipilih. Kenapa ribuan komputer itu harus diserahkan CPI? Dan apa komputer itu sebenarnya bukan milik perusahaan sehingga harus diserahkan?

Lalu, mari kita coba analisa mengapa ada kata-kata "komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI" di tubuh berita?
Sejujurnya, kawan, pemilihan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat itu sebenarnya ada bukan karena tak sengaja. Di dalam industri migas ada komponen yang bernama dana pemulihan atau cost recovery. Komponen cost recovery ada di dalam bagian pemerintah, meskipun pendanaan awal memakai uang kontraktor kontrak kerja sama migas (KKKS).

Intinya, segala pengeluaran KKKS seperti CPI yang terdaftar dalam dana cost recovery bisa diklaim ke pemerintah melalui BPMIGAS. Pengembalian cost recovery tidak dalam bentuk duit, tapi diambil dari hasil produksi migas setelah kontraktor berhasil menemukan dan memproduksi migas secara komersial.

Lalu apa saja yang bisa masuk ke dalam cost recovery? Jawabannya adalah segala hal yang digunakan perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional mereka untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Dan komputer merupakan salah satu yang masuk capital cost dari operasi migas. Dan, capital cost merupakan salah satu komponen dari cost recovery.

Syahdan, kita tentu bisa menyimpulkan bahwa seluruh aset di seluruh KKKS adalah aset negara. Komputer yang digunakan CPI dalam jangka waktu yang diatur dalam kontrak, juga termasuk aset negara dan sebenarnya dibiayai negara dalam komponen cost recovery. Maka, hal ini akan menjawab mengapa kata-kata "komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI" digunakan dalam berita.

Manfaatkan Momentum

Dari analisa di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa CPI sebenarnya hanya menggunakan momentum penyerahan komputer bekas yang sudah habis masa kontraknya untuk pencitraan. Cara publikasi semacam ini tentu patut diacungi jempol, karena dengan pintar memanfaatkan segala cara untuk membentuk pencitraan baik perusahaan. Apalagi, selama ini masih banyak orang yang mempertanyakan manfaat langsung dari keberadaan perusahaan migas itu selama puluhan tahun di Riau.

Namun, kawan, adalah hal yang wajar kita mengkritisi pencitraan semacam ini karena pengembalian aset negara yang digunakan CPI adalah KEWAJIBAN perusahaan. Sebabnya, setelah kontrak habis, CPI tak berhak lagi menggunakan aset negara itu.

Jika CPI benar-benar peduli pendidikan, maka seharusnya ribuan komputer yang dihibahkan itu dibiayai dari keuntungan perusahaan yang diperoleh dari puluhan tahun menyedot "emas hitam" dari tanah Indonesia. Jika CPI benar-benar peduli untuk mensejahterakan warga Indonesia di sekitar lingkungan kerjanya, maka seharusnya perusahaan memperbesar bantuan dari koceknya sendiri melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Jika CPI mau lebih peduli dengan transparansi, maka seharusnya dalam berita itu dituliskan bahwa perusahaan hanya mengembalikan aset negara yang WAJIB untuk dikembalikan. Jika CPI bukan sekedar mencari pencitraan, maka seharusnya perusahaan mengembalikan ribuan komputer itu ke BPMIGAS sebagai lembaga tempat CPI mengklaim dana cost recovery. Baru kemudian BPMIGAS yang lebih layak memberikan ribuan komputer aset negara itu kepada institusi pendidikan di Indonesia.

Sudah saatnya kawan, kita membuka mata terhadap pencitraan seperti yang diterapkan CPI. Media massa di Riau juga harus lebih kritis agar tak terjebak dalam opini yang ingin dibentuk CPI, yang akhirnya malah menyesatkan masyarakat. 
*sekedar unek-unek di otak.. bisa juga dilihat http://www.facebook.com/photo.php?id=1279485376&pid=594006#!/topic.php?uid=194521017126&topic=15288

Keindahan di Kesunyian

     Kersik Luwai adalah sebuah tempat dimana kekayaan hayati tersimpan dengan alami di tengah padang pasir yang sunyi.

    Banyak juga orang yang berkata tempat itu adalah surga bagi berbagai spesies anggrek hutan. Sebuah taman ”Eden” yang dikelilingi hamparan pasir putih di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dari bahasa Dayak Tunjung, salah satu etnis asli di Kutai Barat, nama tempat itu diambil. ”Kersik” berarti padang pasir, dan ”Luwai” sama dengan sunyi. Padang pasir yang sunyi, kurang lebih seperti itu menurut cerita orang-orang di sana.
   
    Jalan tanah sepanjang 40 kilometer ke daerah itu sangat kering dan berdebu pada Musim kemarau di akhir September. Di sepanjang perjalanan, pandangan mata akan disuguhi pepohonan yang rimbun di ”Lembo” (kebun adat) dan tegakan pohon karet milik warga setempat yang terlihat berjejer rapi.
   
     Sekumpulan bocah juga terlihat asyik menceburkan diri mereka ke sungai kecil di sana. Senyum dan canda tawa tersirat dari wajah mereka yang seperti tak peduli dengan terik matahari di siang itu.
   
     Gerbang masuk ke Kersik Luwai dapat terlihat tidak jauh dari sungai. Di sana juga ada pos penjagaan dan bangunan pusat informasi.
   
    Suasana terasa sepi dan lengang. Dari kejauhan terlihat ada dua pengunjung yang keluar dari dalam kawasan itu.
   
    ”Jangan lupa tulis nama di buku tamu, biar bisa dicari bila kamu tersesat,” kata seorang pengunjung.
   
    Apa yang dia maksud adalah buku tamu di pos penjagaan. Kawasan di antara Kecamatan Damai dan Kecamatan Sekolaq Darat itu memang telah ditetapkan menjadi cagar alam lewat Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 792/Kpts/Um/10/1982.
   
    Tempat itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Padang Luwai dan di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Kawasan konservasi di tempat itu mencapai luas 5.000 hektar, meski luas tempat tumbuhnya anggrek hanya 17,5 hektar.
   
    Sudah pasti karena keunikannya tempat itu ditetapkan menjadi cagar alam. Sampai kini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana hamparan pasir dapat berada di tengah hutan pegunungan yang ratusan kilometer jauhnya dari pesisir pantai.
   
    Akses untuk masuk ke kawasan itu melalui jalan setapak yang dipenuhi tumbuhan semak dan sejenis paku-pakuan di kanan kirinya. Terlihat juga puluhan pohon yang menjulang tegak ke langit, tapi batangnya gosong menghitam tanpa ada sehelai daun. Sebuah tanda bahwa pernah ada kebakaran hutan di tempat itu.
   
    Pasir putih di sepanjang jalan setapak itu terasa lembut. Namun, terik matahari siang telah membuat udara dan pasir juga terasa panas. Mungkin panasnya dijamin bisa menambah kering kerongkongan orang yang sedang menunaikan ibadah puasa.
   
    Temperatur udara dapat berubah secara ekstrim di kawasan tipikal padang pasir seperti halnya di Kersik Luwai. Kendati hal itu belum dapat menjelaskan bagaimana aneka tumbuhan, khususnya anggrek, dapat hidup di sana.
 
Habitat Anggrek Hutan
   
    Berada di “jantung” habitat anggrek hutan di Kersik Luwai bagaikan seperti di dalam labirin. Kawasan itu didominasi oleh pohon kerangas dan telamun yang terlihat terpetak-petak oleh jalan setapak.
   
    Kerangas seperti pohon bakau di tempat itu dengan bentuk daun yang kecil dan tebal, juga kerap berbuah untuk sumber makanan bagi burung. Sedangkan telamun memiliki batang yang berwarna merah dan diameternya hanya dapat tumbuh sekira lima hingga 10 centimeter.
   
    Di bawah rimbun pepohonan yang rindang itulah aneka anggrek hutan tumbuh. Kesabaran dan ketelitian kita sangat dibutuhkan karena seringkali badan harus dibuat membungkuk untuk mencari anggrek yang mekar di bawah naungan pepohonan.
   
    Di Kersik Luwai ada bermacam anggrek dengan keunikan masing-masing. Satu bunga yang paling terkenal dan menjadi kekhasan tempat itu adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata).
   
    Anggrek ini paling mudah ditemukan di Kersik Luwai. Mereka berbunga di sepanjang tahun, meski tidak pernah terjadi serempak. Bunga endemik Kalimantan tersebut sudah terkenal hingga mancanegara dan sangat dilindungi karena terancam punah.
   
    Rasa panas dan gerah seperti terbayar lunas bila melihat anggrek hitam yang mekar di habitat aslinya. Saat itu ada dua pohon anggrek hitam sedang mekar di antara semak. Ternyata pada satu pohon bisa belasan bunga yang merekah sangat indah.
   
    Anggrek hitam biasanya berkelopak lima yang bewarna hijau muda cerah, bukan hitam. Warna hitam justru berada di tengah bunga berupa bintik-bintik hitam yang tampak membentuk motif dan kerapatan warna yang unik. 
   
    Tidak jauh dari sana juga tumbuh anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) yang tangkainya bisa tumbuh mencapai dua meter sehingga dikatakan seperti tebu. Warna bunga ini bermotif seperti kulit harimau dengan bintik coklat, kuning dan hitam.
   
    Lalu di tempat itu juga ada anggrek merpati (Dendrobium rumenatum), anggrek ratap tangis yang bentuknya seperti rantai, dan anggrek sragotanga (Coelogyne foerstermanii) atau anggrek bambu yang ujung daunnya seperti anyaman bambu.
   
    Sayangnya, saat itu pohon anggrek-anggrek tersebut sedang tidak berbunga karena kebanyakan hanya bisa dilihat mekar pada akhir tahun.
   
    Di Kersik Luwai juga banyak dijumpai kantong semar (Nephentes sp). Tumbuhan yang kini sedang digandrungi para pencinta botani ini banyak tumbuh di atas pasir ataupun melilit pada dahan pohon lain untuk tumbuh menjuntai.
   
    Kantong semar memiliki rongga seperti terompet yang bewarna hijau kemerahan. Kantong tumbuhan tersebut bisa menampung air dan dahulu digunakan suku dayak untuk sumber air minum di hutan.
Keindahan Yang Hakiki
   
    Yurang selalu menganggap Kersik Luwai sebagai kampung halamannya. Ayahnya, Paulus Jhodi, adalah salah seorang penjaga di tempat itu sekitar tahun 1970-an, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan cagar alam.
   
    Pria bertubuh besar dan berkulit sawo matang ini mengatakan Kersik Luwai adalah sebuah tempat bermain yang menyenangkan saat ia masih kecil. Saat itu ia senang sekali memerhatikan beruang madu dan membuat sarang lebah jadi sasaran lontaran batu adalah moment yang tak bisa dilupakan.
   
    ”Saat lebahnya keluar saya dan teman-teman langsung lari dan masuk ke sungai,” katanya sambil tertawa mengenang saat itu.
   
     Namun hal itu tidak bisa lagi ia lakukan karena hutan lebat banyak musnah akibat kebakaran besar di tempat itu.
   
    ”Tempat ini sudah sangat berubah,” ujarnya.
   
    Meski begitu ia selalu antusias bila menemani rombangan pengunjung yang ingin melihat Kersik Luwai. Perhatiannya pun masih sangat besar dan dalam waktu dekat, ia berencana untuk memperbaiki jembatan kayu sungai kecil di jalan menuju tempat itu yang sudah sangat tua dan lapuk.
   
    Perubahan drastis di Kersik Luwai juga sangat membekas bagi Didimus. Pria setempat yang kini berprofesi sebagai pegawai BKSDA di cagar alam itu mengatakan kebakaran hutan akan selalu menjadi ancaman bagi kelestarian tempat itu.
   
    ”Kebakaran hutan saat ini sangat kecil kemungkinan disebabkan faktor alam kecuali disengaja manusia,” katanya mengomentari penyebab kebakaran yang pernah terjadi di sana.
   
    Ia mengatakan kebakaran besar sempat beberapa kali terjadi di Kersik Luwai, salah satunya pada tahun 1982 yang menyebabkan luas hutan anggrek menyusut drastis dari sebelumnya 400 hektar. Ia juga mengatakan peristiwa kebakaran itu juga mengakibatkan belasan jenis anggrek hutan punah.
   
    ”Sebelum kebakaran ada 72 jenis anggrek di tempat ini, tapi sekarang tinggal 57 jenis saja,” ujarnya.
   
    Kebakaran juga sempat terjadi pada awal tahun 2007 yang melumat hutan yang berada di kawasan itu. Pohon besar yang dulu tumbuh rapat dan mengelilingi hutan anggrek kini tak ada lagi.
   
    Segala perubahan di cagar alam tersebut tentu berdampak pada makhluk hidup yang selama ini bergantung padanya. Didimus mengatakan Kersik Luwai juga menjadi tempat mencari makan bagi satwa seperti aneka burung, beruang madu, rusa, landak, trenggiling, hingga kancil.
   
    Namun, ia mengatakan banyak dari binatang tersebut sulit untuk ditemui di tempat itu terutama setelah hutan di sekeliling Kersik Luwai nyaris habis terbakar.
   
    Memasuki 11 tahun masa kerjanya menjaga tempat itu, Didimus tidak pernah hilang harap untuk menjaga kelestarian tempat itu.
   
    Mungkin di luar sana bukan Cuma orang seperti Didimus dan Yurang yang ingin hidup berdampingan dengan alam. Mungkin kelak lebih banyak lagi orang akan melindungi semua kehidupan yang masih tersisa di Kersik Luwai. Sebuah harmoni untuk mencipta kekayaan yang hakiki. 

*kenangan bertugas di rimba Kalimantan October 4th, 2007  

"Rohani" dan Secuil Kemiskinan Indonesia di Bantaran Ciliwung

   Perempuan itu membungkuk untuk mengambil air kali Ciliwung dengan kedua tangannya. Tidak ada keraguan, bahkan rasa jijik juga tidak tersirat sedikitpun dari wajahnya ketika ia mulai berkumur dan mengusapkan air hitam itu ke tubuhnya.

    "Saya habis mengambil air untuk wudhu," kata perempuan yang mengaku bernama Rohani dengan singkat seraya beranjak pergi meninggalkanku.

    Ini hanyalah sebuah kisah perjalanannku ke daerah bantaran kali Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta Timur. Salah satu tempat pemukiman kumuh yang identik dengan daerah miskin kota, dan sepotong kecil "frame" dari gulungan besar potret rakyat miskin di Indonesia yang kini berjumlah diatas 35 juta jiwa (jika laporan Badan Pusat Statistik beberapa waktu lalu valid datanya) .
 
    Singkat cerita, akhirnya aku berhasil menemukan rumah perempuan itu diantara jejeran bangunan kayu yang sekilas terlihat seperti rumah burung. Perempuan itu berdiri menungguku di depan pintu rumahnya. "Mari masuk ke rumah saya nak," katanya.
 
    Dia tinggal di sebuah bangunan dari kayu berukuran sekitar 7×5 meter dan berlantaikan tanah. Ruangan itu terlihat pengap karena hanya memiliki satu jendela, belum lagi harus dibagi untuk tempat tidur dan dapur.
 
    "Beginilah rumah saya, kecil dan sempit," kata perempuan yang mengaku berasal Kuningan, Jawa Tengah itu.
 
    Prempuan berusia paruh baya itu mengatakan, telah belasan tahun dirinya tinggal di tempat itu bersama suami dan dua putrinya. Hidup jauh dari kelayakan dinikmati saja apa adanya, kata Rohani.
 
    Dia mengaku sadar tinggal di tempat yang kumuh. Dia juga sadar ketika musim hujan datang dirinya harus rela tidur beralaskan aspal di atas jembatan karena bajir kiriman setiap tahun menenggelamkan rumahnya. Namun, dia tetap mengatakan hidup di daerah kumuh Ciliwung masih lebih baik daripada hidup di kampungnya yang tanpa sebidang sawah.
 
    "Terkadang saya suka memunguti sampah di kali untuk dijual. Dari situ saya bisa dapat Rp20 ribu per hari," katanya.
 
    Air Ciliwung yang hitam dan anyir itu tampaknya sudah menjadi pemandangan yang biasa buat orang seperti Rohani. Bahkan dia mangatakan masih banyak orang yang menggunakan air Ciliwung untuk mandi dan mencuci pakaian, meski beberapa meter dari tempat tinggalnya berdiri sebuah fasilitas sanitasi bersama yang biasa disebut MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus).
 
    "Saya tidak sanggup membayar iuran perawatan sebesar Rp16 ribu per bulan. Apalagi suami saya yang biasa jadi kuli bangunan sudah lama tidak bekerja karena belum ada proyek lagi," katanya.
 
    Aku hanya bisa tertegun sambil memikirkan bagaimana keseharian mereka yang hidup di tempat itu yang mereka sebut rumah. Perlahan suara Rohani yang pelan mengilang karena aku tenggelam dalam lamunanku.
 
    Fenomena yang aneh tapi nyata ketika aku masih menemukan orang-orang yang memilih "bersih-bersih" di air Ciliwung yang penuh limbah, padahal sudah ada fasilitas MCK yang tersedia. Di daerah RW 08 kecamatan Bukit Duri, tempat Rohani tinggal, terdapat delapan MCK yang dibangun dari dana World Bank. Hanya saja, tinggal lima yang masih bisa digunakan dan kondisinya juga tidak bisa disebut memadai karena tidak terawat.
 
    Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan ketika kudengar Rohani berteriak. "Ebi, jangan main di pinggir kali. Nanti kamu tercebur," teriak wanita itu.
 
     Dua orang anak terlihat sedang asik bermain di pinggiran sungai. Seorang anak laki-laki dengan santainya membuka pakaiannya dan langsung menceburkan dirinya ke sungai yang penuh busa itu. Sementara anak perempuan yang satu lagi berlari ke arahku sambil tertawa riang.
 
    "Dia anak saya yang kedua. Nama panggilannya Ebi," kata Rohani.
 
    Rohani kembali bercerita sambil membetulkan kedua kepang rambut anaknya. Tapi, kali ini suaranya semakin lirih. "Saya cuma bisa berharap ada orangtua asuh yang mau membantu anak-anak saya untuk sekolah," katanya.
 
    Dengan mata yang berkaca-kaca dia menceritakan putri pertamanya yang terpaksa berhenti sekolah karena malu akibat Rohani tidak bisa melunasi uang buku pelajaran. Padahal, dia memiliki harapan yang besar agar anaknya mendapatkan pendidikan yang layak untuk dapat memperbaiki nasib mereka di masa depan. 
 
    "Padahal dia sudah duduk di kelas lima sekolah dasar. Saya tidak mau dia selamanya hidup seperti orangtuanya," kata Rohani.
 
    Dia juga mengatakan Ebi, putrinya yang kedua, kini sudah berusia tujuh tahun dan sudah cukup umur untuk masuk sekolah. Tapi, lagi-lagi akibat masalah kurangnya biaya membuat dirinya urung untuk menyekolahkan Ebi. "Seringkali saya sedih ketika Ebi merengek minta bisa sekolah," katanya sambil memeluk putrinya dengan erat.

    Hari itu berakhir dengan menyisakan pertanyaan yang menyesakkan dadaku. Jika Jakarta dianggap banyak orang sebagai miniatur Indonesia, adakah potret kemiskinan di luar sana yang lebih manusiawi? Ataukah kemiskinan sesungguhnya sudah sangat jauh dari sifat manusiawi?

*tulisan pertamaku saat liputan sebagai wartawan Kantor Berita ANTARA di Jakarta pada tahun 2006 dan tak pernah dipublikasikan