Riau Rhythm Chambers Indonesia tampil di "Ruang Dengar" di Sapulidi Center |
Bagi saya akhir tahun 2015 ditandai dengan dua pagelaran musik yang di luar normal di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Pertama, "Ruang Dengar" benar-benar menjadi media bagi eksistensi kelompok musisi anak muda Riau Rhythm Chambers Indonesia selama 14 tahun. Kedua, "Riau Orchestra Performance" yang menampilkan kolaborasi apik musik tradisional dalam alunan orkestra. Satu kata yang bisa menggambarkan keduanya: "Majestic!"
14 tahun bukan masa yang sebentar bagi sebuah kelompok musik, dan Riau Rhythm Chambers Indonesia (RRCI) melalui "Ruang Dengar" seakan ingin menunjukan bahwa mereka masih akan berkarya dengan pilihan genre yang sudah membesarkan nama mereka.
Pasti tidak mudah bagi Rino Dezapaty, Cendra Putra Yanis, Aristofani Fahmi, Loni Jaya Putra (Featuring musician), Viogi Rupiyanto, Fitrah Giring, Violano Rupiyanto, Bayu Caesar, Reizki Habibulah, Syukri Cahyadi (Additional) untuk tetap bertahan dalam belantika musik Indonesia yang didominasi genre pop.
RRCI sepertinya ingin menunjukan bahwa melestarikan musik tradisional bukan sesuatu yang tidak mungkin, meski tantangannya juga sangat berat. Musik tradisional seakan masih asing bagi telinga masyarakat Riau sendiri, terutama bagi anak mudanya. Pangsa pasarnya sangat terbatas, apalagi untuk mendatangkan "crowd" yang bisa setia menjadi penikmatnya.
Meski begitu, penampilan RRCI tetap all out pada pagelaran perdana "Ruang Dengar" di Sapulidi Center di Jalan Pahlawan Kerja No.247 pada Desember lalu. Performa mereka seperti seakan menyatu dengan atmosfir Sapulidi Center yang "antik" dalam sorotan lampu dan tata panggung seadanya. Musik RRCI yang akhirnya berbicara, mendatangkan para pengunjung hingga tempat itu penuh, dan menahan mereka sekitar dua jam lamanya. Perpaduan musik tradisional Melayu dan sedikit pop mungkin bisa menjadi jawaban bagi RRCI untuk mengambil hati para penikmat musik dari kalangan anak muda.
Penampilan Riau Orchestra Performance di Anjung Seni Idrus Tintin |
Sementara itu, "Riau Orchestra Performance" di Anjung Seni Idrus Tintin seakan membawa musik tradisional Melayu ke level yang lebih tinggi. Lagu Melayu yang biasanya didominasi rentak perkusi, ternyata bisa "menikah" dengan alunan musik klasik lengkap dengan biola, cello, dan suling. Musik melayu bisa terdengar sangat mahal dibuatnya, sungguh memesona untuk dinikmati.
Semoga ini akhir dari kebuntuan di jalan sunyi bagi musik tradisional Melayu. Karena saya, mungkin juga generasi muda lainnya, sangat haus suguhan musik yang bermutu.