these are the moments

Minggu, 17 Oktober 2010

Ada Apa Di Balik Penyerahan Ribuan Komputer Chevron?

Ada kalimat yang lazim dikenal dalam dunia komunikasi dan kehumasan: "baik atau buruk, itu publikasi". Artinya, cara apapun adalah sah dan bisa digunakan untuk mendongkrak popularitas atau pencitraan si subjek publikasi.


Sejumlah media massa lokal di Riau pada 14 Oktober lalu memuat berita mengenai penyerahan ribuan komputer dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke institusi pendidikan. Sebenarnya, berita itu merupakan rilis pers yang dibuat humas kontraktor migas itu dan dibagikan kepada wartawan sehari sebelumnya.

Rilis itu berjudul: "CPI Siap Serahkan 3.084 Komputer untuk Institusi Pendidikan di Riau". Secara kasat mata berita itu sangat menarik karena dari judulnya sudah bombastis dengan adanya jumlah angka komputer yang mencapai ribuan. Penyerahan komputer itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman yang dilakukan Kementerian Riset dan Teknologi yakni Kemal Prihatman, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau Irwan Effendi, perwakilan dari Asosiasi Open Source Indonesia (AOSI) Betti Alisjahbana, serta para kepala sekolah dan guru.

’’Program ini bagian dari peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama melalui pendidikan. Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pemerintah yang telah mendukung program yang sangat selaras dengan program kami ini. Program ini sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan di sekitar wilayah operasi kami,’’ ujar Djati Sussetya selaku GM Policy, Government, and Public Affairs (PGPA) CPI dalam berita itu.

Dijelaskan, bahwa CPI sebagai inisiator program ini mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Selain itu, juga dituliskan bahwa komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI namun masih sangat layak pakai dengan spesifikasi Pentium-4. Dalam berita itu dituliskan, inisiatif program semacam ini diharapkan mampu meningkatkan akses pengetahuan dan keterampilan para siswa di sekolah-sekolah di sekitar wilayah kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang berada di bawah koordinasi BPMIGAS.

“Sekolah yang terpilih masing-masing akan menerima 23 unit komputer. Program semacam ini juga pernah dilakukan CPI pada 2001, yakni menyalurkan lebih dari 2.000 unit komputer ke berbagai SMA, perguruan tinggi, dan Dinas Pendidikan Provinsi Riau, serta kelengkapan laboratorium komputer di berbagai SMA di Provinsi Riau,” ungkapnya.

Selain itu, pada akhir berita itu dituliskan, Chevron mendonasikan sekitar 1.600 komputer kepada institusi-institusi pendidikan pada tahun ini di sekitar wilayah operasi Chevron yakni selain di Riau juga didistribusikan di Jakarta dan Jawa Barat sebanyak 900 unit, serta Kalimantan Timur sebanayak 700 unit.

Aset Negara

Orang awam setelah membaca berita itu kemungkinan besar akan berpikir bahwa sungguh mulia CPI mau memberikan ribuan komputer langsung kepada insitusi pendidikan. Bukan itu saja, kita sebagai orang biasa tentu akan menilai CPI sangat konsisten memberikan bantuan komputer untuk pendidikan sejak tahun 2001.

Namun, kawan, mari sejenak kita bersikap kritis, bagaimana jika opini publik semacam itu yang diinginkan dan berusaha dibentuk oleh perusahaan.

Mari kita kaji rilis berita itu menggunakan analisa isi atau konten. Pada judul berita itu dituliskan kata-kata "Siap Serahkan" dan kemudian kita buat pertanyaan mengapa kalimat itu dipilih. Kenapa ribuan komputer itu harus diserahkan CPI? Dan apa komputer itu sebenarnya bukan milik perusahaan sehingga harus diserahkan?

Lalu, mari kita coba analisa mengapa ada kata-kata "komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI" di tubuh berita?
Sejujurnya, kawan, pemilihan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat itu sebenarnya ada bukan karena tak sengaja. Di dalam industri migas ada komponen yang bernama dana pemulihan atau cost recovery. Komponen cost recovery ada di dalam bagian pemerintah, meskipun pendanaan awal memakai uang kontraktor kontrak kerja sama migas (KKKS).

Intinya, segala pengeluaran KKKS seperti CPI yang terdaftar dalam dana cost recovery bisa diklaim ke pemerintah melalui BPMIGAS. Pengembalian cost recovery tidak dalam bentuk duit, tapi diambil dari hasil produksi migas setelah kontraktor berhasil menemukan dan memproduksi migas secara komersial.

Lalu apa saja yang bisa masuk ke dalam cost recovery? Jawabannya adalah segala hal yang digunakan perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional mereka untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Dan komputer merupakan salah satu yang masuk capital cost dari operasi migas. Dan, capital cost merupakan salah satu komponen dari cost recovery.

Syahdan, kita tentu bisa menyimpulkan bahwa seluruh aset di seluruh KKKS adalah aset negara. Komputer yang digunakan CPI dalam jangka waktu yang diatur dalam kontrak, juga termasuk aset negara dan sebenarnya dibiayai negara dalam komponen cost recovery. Maka, hal ini akan menjawab mengapa kata-kata "komputer bantuan itu telah habis masa kontraknya untuk operasi CPI" digunakan dalam berita.

Manfaatkan Momentum

Dari analisa di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa CPI sebenarnya hanya menggunakan momentum penyerahan komputer bekas yang sudah habis masa kontraknya untuk pencitraan. Cara publikasi semacam ini tentu patut diacungi jempol, karena dengan pintar memanfaatkan segala cara untuk membentuk pencitraan baik perusahaan. Apalagi, selama ini masih banyak orang yang mempertanyakan manfaat langsung dari keberadaan perusahaan migas itu selama puluhan tahun di Riau.

Namun, kawan, adalah hal yang wajar kita mengkritisi pencitraan semacam ini karena pengembalian aset negara yang digunakan CPI adalah KEWAJIBAN perusahaan. Sebabnya, setelah kontrak habis, CPI tak berhak lagi menggunakan aset negara itu.

Jika CPI benar-benar peduli pendidikan, maka seharusnya ribuan komputer yang dihibahkan itu dibiayai dari keuntungan perusahaan yang diperoleh dari puluhan tahun menyedot "emas hitam" dari tanah Indonesia. Jika CPI benar-benar peduli untuk mensejahterakan warga Indonesia di sekitar lingkungan kerjanya, maka seharusnya perusahaan memperbesar bantuan dari koceknya sendiri melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Jika CPI mau lebih peduli dengan transparansi, maka seharusnya dalam berita itu dituliskan bahwa perusahaan hanya mengembalikan aset negara yang WAJIB untuk dikembalikan. Jika CPI bukan sekedar mencari pencitraan, maka seharusnya perusahaan mengembalikan ribuan komputer itu ke BPMIGAS sebagai lembaga tempat CPI mengklaim dana cost recovery. Baru kemudian BPMIGAS yang lebih layak memberikan ribuan komputer aset negara itu kepada institusi pendidikan di Indonesia.

Sudah saatnya kawan, kita membuka mata terhadap pencitraan seperti yang diterapkan CPI. Media massa di Riau juga harus lebih kritis agar tak terjebak dalam opini yang ingin dibentuk CPI, yang akhirnya malah menyesatkan masyarakat. 
*sekedar unek-unek di otak.. bisa juga dilihat http://www.facebook.com/photo.php?id=1279485376&pid=594006#!/topic.php?uid=194521017126&topic=15288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar