these are the moments

Minggu, 17 Oktober 2010

"Rohani" dan Secuil Kemiskinan Indonesia di Bantaran Ciliwung

   Perempuan itu membungkuk untuk mengambil air kali Ciliwung dengan kedua tangannya. Tidak ada keraguan, bahkan rasa jijik juga tidak tersirat sedikitpun dari wajahnya ketika ia mulai berkumur dan mengusapkan air hitam itu ke tubuhnya.

    "Saya habis mengambil air untuk wudhu," kata perempuan yang mengaku bernama Rohani dengan singkat seraya beranjak pergi meninggalkanku.

    Ini hanyalah sebuah kisah perjalanannku ke daerah bantaran kali Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta Timur. Salah satu tempat pemukiman kumuh yang identik dengan daerah miskin kota, dan sepotong kecil "frame" dari gulungan besar potret rakyat miskin di Indonesia yang kini berjumlah diatas 35 juta jiwa (jika laporan Badan Pusat Statistik beberapa waktu lalu valid datanya) .
 
    Singkat cerita, akhirnya aku berhasil menemukan rumah perempuan itu diantara jejeran bangunan kayu yang sekilas terlihat seperti rumah burung. Perempuan itu berdiri menungguku di depan pintu rumahnya. "Mari masuk ke rumah saya nak," katanya.
 
    Dia tinggal di sebuah bangunan dari kayu berukuran sekitar 7×5 meter dan berlantaikan tanah. Ruangan itu terlihat pengap karena hanya memiliki satu jendela, belum lagi harus dibagi untuk tempat tidur dan dapur.
 
    "Beginilah rumah saya, kecil dan sempit," kata perempuan yang mengaku berasal Kuningan, Jawa Tengah itu.
 
    Prempuan berusia paruh baya itu mengatakan, telah belasan tahun dirinya tinggal di tempat itu bersama suami dan dua putrinya. Hidup jauh dari kelayakan dinikmati saja apa adanya, kata Rohani.
 
    Dia mengaku sadar tinggal di tempat yang kumuh. Dia juga sadar ketika musim hujan datang dirinya harus rela tidur beralaskan aspal di atas jembatan karena bajir kiriman setiap tahun menenggelamkan rumahnya. Namun, dia tetap mengatakan hidup di daerah kumuh Ciliwung masih lebih baik daripada hidup di kampungnya yang tanpa sebidang sawah.
 
    "Terkadang saya suka memunguti sampah di kali untuk dijual. Dari situ saya bisa dapat Rp20 ribu per hari," katanya.
 
    Air Ciliwung yang hitam dan anyir itu tampaknya sudah menjadi pemandangan yang biasa buat orang seperti Rohani. Bahkan dia mangatakan masih banyak orang yang menggunakan air Ciliwung untuk mandi dan mencuci pakaian, meski beberapa meter dari tempat tinggalnya berdiri sebuah fasilitas sanitasi bersama yang biasa disebut MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus).
 
    "Saya tidak sanggup membayar iuran perawatan sebesar Rp16 ribu per bulan. Apalagi suami saya yang biasa jadi kuli bangunan sudah lama tidak bekerja karena belum ada proyek lagi," katanya.
 
    Aku hanya bisa tertegun sambil memikirkan bagaimana keseharian mereka yang hidup di tempat itu yang mereka sebut rumah. Perlahan suara Rohani yang pelan mengilang karena aku tenggelam dalam lamunanku.
 
    Fenomena yang aneh tapi nyata ketika aku masih menemukan orang-orang yang memilih "bersih-bersih" di air Ciliwung yang penuh limbah, padahal sudah ada fasilitas MCK yang tersedia. Di daerah RW 08 kecamatan Bukit Duri, tempat Rohani tinggal, terdapat delapan MCK yang dibangun dari dana World Bank. Hanya saja, tinggal lima yang masih bisa digunakan dan kondisinya juga tidak bisa disebut memadai karena tidak terawat.
 
    Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan ketika kudengar Rohani berteriak. "Ebi, jangan main di pinggir kali. Nanti kamu tercebur," teriak wanita itu.
 
     Dua orang anak terlihat sedang asik bermain di pinggiran sungai. Seorang anak laki-laki dengan santainya membuka pakaiannya dan langsung menceburkan dirinya ke sungai yang penuh busa itu. Sementara anak perempuan yang satu lagi berlari ke arahku sambil tertawa riang.
 
    "Dia anak saya yang kedua. Nama panggilannya Ebi," kata Rohani.
 
    Rohani kembali bercerita sambil membetulkan kedua kepang rambut anaknya. Tapi, kali ini suaranya semakin lirih. "Saya cuma bisa berharap ada orangtua asuh yang mau membantu anak-anak saya untuk sekolah," katanya.
 
    Dengan mata yang berkaca-kaca dia menceritakan putri pertamanya yang terpaksa berhenti sekolah karena malu akibat Rohani tidak bisa melunasi uang buku pelajaran. Padahal, dia memiliki harapan yang besar agar anaknya mendapatkan pendidikan yang layak untuk dapat memperbaiki nasib mereka di masa depan. 
 
    "Padahal dia sudah duduk di kelas lima sekolah dasar. Saya tidak mau dia selamanya hidup seperti orangtuanya," kata Rohani.
 
    Dia juga mengatakan Ebi, putrinya yang kedua, kini sudah berusia tujuh tahun dan sudah cukup umur untuk masuk sekolah. Tapi, lagi-lagi akibat masalah kurangnya biaya membuat dirinya urung untuk menyekolahkan Ebi. "Seringkali saya sedih ketika Ebi merengek minta bisa sekolah," katanya sambil memeluk putrinya dengan erat.

    Hari itu berakhir dengan menyisakan pertanyaan yang menyesakkan dadaku. Jika Jakarta dianggap banyak orang sebagai miniatur Indonesia, adakah potret kemiskinan di luar sana yang lebih manusiawi? Ataukah kemiskinan sesungguhnya sudah sangat jauh dari sifat manusiawi?

*tulisan pertamaku saat liputan sebagai wartawan Kantor Berita ANTARA di Jakarta pada tahun 2006 dan tak pernah dipublikasikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar