these are the moments

Minggu, 17 Oktober 2010

Keindahan di Kesunyian

     Kersik Luwai adalah sebuah tempat dimana kekayaan hayati tersimpan dengan alami di tengah padang pasir yang sunyi.

    Banyak juga orang yang berkata tempat itu adalah surga bagi berbagai spesies anggrek hutan. Sebuah taman ”Eden” yang dikelilingi hamparan pasir putih di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dari bahasa Dayak Tunjung, salah satu etnis asli di Kutai Barat, nama tempat itu diambil. ”Kersik” berarti padang pasir, dan ”Luwai” sama dengan sunyi. Padang pasir yang sunyi, kurang lebih seperti itu menurut cerita orang-orang di sana.
   
    Jalan tanah sepanjang 40 kilometer ke daerah itu sangat kering dan berdebu pada Musim kemarau di akhir September. Di sepanjang perjalanan, pandangan mata akan disuguhi pepohonan yang rimbun di ”Lembo” (kebun adat) dan tegakan pohon karet milik warga setempat yang terlihat berjejer rapi.
   
     Sekumpulan bocah juga terlihat asyik menceburkan diri mereka ke sungai kecil di sana. Senyum dan canda tawa tersirat dari wajah mereka yang seperti tak peduli dengan terik matahari di siang itu.
   
     Gerbang masuk ke Kersik Luwai dapat terlihat tidak jauh dari sungai. Di sana juga ada pos penjagaan dan bangunan pusat informasi.
   
    Suasana terasa sepi dan lengang. Dari kejauhan terlihat ada dua pengunjung yang keluar dari dalam kawasan itu.
   
    ”Jangan lupa tulis nama di buku tamu, biar bisa dicari bila kamu tersesat,” kata seorang pengunjung.
   
    Apa yang dia maksud adalah buku tamu di pos penjagaan. Kawasan di antara Kecamatan Damai dan Kecamatan Sekolaq Darat itu memang telah ditetapkan menjadi cagar alam lewat Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 792/Kpts/Um/10/1982.
   
    Tempat itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Padang Luwai dan di bawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Kawasan konservasi di tempat itu mencapai luas 5.000 hektar, meski luas tempat tumbuhnya anggrek hanya 17,5 hektar.
   
    Sudah pasti karena keunikannya tempat itu ditetapkan menjadi cagar alam. Sampai kini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana hamparan pasir dapat berada di tengah hutan pegunungan yang ratusan kilometer jauhnya dari pesisir pantai.
   
    Akses untuk masuk ke kawasan itu melalui jalan setapak yang dipenuhi tumbuhan semak dan sejenis paku-pakuan di kanan kirinya. Terlihat juga puluhan pohon yang menjulang tegak ke langit, tapi batangnya gosong menghitam tanpa ada sehelai daun. Sebuah tanda bahwa pernah ada kebakaran hutan di tempat itu.
   
    Pasir putih di sepanjang jalan setapak itu terasa lembut. Namun, terik matahari siang telah membuat udara dan pasir juga terasa panas. Mungkin panasnya dijamin bisa menambah kering kerongkongan orang yang sedang menunaikan ibadah puasa.
   
    Temperatur udara dapat berubah secara ekstrim di kawasan tipikal padang pasir seperti halnya di Kersik Luwai. Kendati hal itu belum dapat menjelaskan bagaimana aneka tumbuhan, khususnya anggrek, dapat hidup di sana.
 
Habitat Anggrek Hutan
   
    Berada di “jantung” habitat anggrek hutan di Kersik Luwai bagaikan seperti di dalam labirin. Kawasan itu didominasi oleh pohon kerangas dan telamun yang terlihat terpetak-petak oleh jalan setapak.
   
    Kerangas seperti pohon bakau di tempat itu dengan bentuk daun yang kecil dan tebal, juga kerap berbuah untuk sumber makanan bagi burung. Sedangkan telamun memiliki batang yang berwarna merah dan diameternya hanya dapat tumbuh sekira lima hingga 10 centimeter.
   
    Di bawah rimbun pepohonan yang rindang itulah aneka anggrek hutan tumbuh. Kesabaran dan ketelitian kita sangat dibutuhkan karena seringkali badan harus dibuat membungkuk untuk mencari anggrek yang mekar di bawah naungan pepohonan.
   
    Di Kersik Luwai ada bermacam anggrek dengan keunikan masing-masing. Satu bunga yang paling terkenal dan menjadi kekhasan tempat itu adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata).
   
    Anggrek ini paling mudah ditemukan di Kersik Luwai. Mereka berbunga di sepanjang tahun, meski tidak pernah terjadi serempak. Bunga endemik Kalimantan tersebut sudah terkenal hingga mancanegara dan sangat dilindungi karena terancam punah.
   
    Rasa panas dan gerah seperti terbayar lunas bila melihat anggrek hitam yang mekar di habitat aslinya. Saat itu ada dua pohon anggrek hitam sedang mekar di antara semak. Ternyata pada satu pohon bisa belasan bunga yang merekah sangat indah.
   
    Anggrek hitam biasanya berkelopak lima yang bewarna hijau muda cerah, bukan hitam. Warna hitam justru berada di tengah bunga berupa bintik-bintik hitam yang tampak membentuk motif dan kerapatan warna yang unik. 
   
    Tidak jauh dari sana juga tumbuh anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) yang tangkainya bisa tumbuh mencapai dua meter sehingga dikatakan seperti tebu. Warna bunga ini bermotif seperti kulit harimau dengan bintik coklat, kuning dan hitam.
   
    Lalu di tempat itu juga ada anggrek merpati (Dendrobium rumenatum), anggrek ratap tangis yang bentuknya seperti rantai, dan anggrek sragotanga (Coelogyne foerstermanii) atau anggrek bambu yang ujung daunnya seperti anyaman bambu.
   
    Sayangnya, saat itu pohon anggrek-anggrek tersebut sedang tidak berbunga karena kebanyakan hanya bisa dilihat mekar pada akhir tahun.
   
    Di Kersik Luwai juga banyak dijumpai kantong semar (Nephentes sp). Tumbuhan yang kini sedang digandrungi para pencinta botani ini banyak tumbuh di atas pasir ataupun melilit pada dahan pohon lain untuk tumbuh menjuntai.
   
    Kantong semar memiliki rongga seperti terompet yang bewarna hijau kemerahan. Kantong tumbuhan tersebut bisa menampung air dan dahulu digunakan suku dayak untuk sumber air minum di hutan.
Keindahan Yang Hakiki
   
    Yurang selalu menganggap Kersik Luwai sebagai kampung halamannya. Ayahnya, Paulus Jhodi, adalah salah seorang penjaga di tempat itu sekitar tahun 1970-an, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan cagar alam.
   
    Pria bertubuh besar dan berkulit sawo matang ini mengatakan Kersik Luwai adalah sebuah tempat bermain yang menyenangkan saat ia masih kecil. Saat itu ia senang sekali memerhatikan beruang madu dan membuat sarang lebah jadi sasaran lontaran batu adalah moment yang tak bisa dilupakan.
   
    ”Saat lebahnya keluar saya dan teman-teman langsung lari dan masuk ke sungai,” katanya sambil tertawa mengenang saat itu.
   
     Namun hal itu tidak bisa lagi ia lakukan karena hutan lebat banyak musnah akibat kebakaran besar di tempat itu.
   
    ”Tempat ini sudah sangat berubah,” ujarnya.
   
    Meski begitu ia selalu antusias bila menemani rombangan pengunjung yang ingin melihat Kersik Luwai. Perhatiannya pun masih sangat besar dan dalam waktu dekat, ia berencana untuk memperbaiki jembatan kayu sungai kecil di jalan menuju tempat itu yang sudah sangat tua dan lapuk.
   
    Perubahan drastis di Kersik Luwai juga sangat membekas bagi Didimus. Pria setempat yang kini berprofesi sebagai pegawai BKSDA di cagar alam itu mengatakan kebakaran hutan akan selalu menjadi ancaman bagi kelestarian tempat itu.
   
    ”Kebakaran hutan saat ini sangat kecil kemungkinan disebabkan faktor alam kecuali disengaja manusia,” katanya mengomentari penyebab kebakaran yang pernah terjadi di sana.
   
    Ia mengatakan kebakaran besar sempat beberapa kali terjadi di Kersik Luwai, salah satunya pada tahun 1982 yang menyebabkan luas hutan anggrek menyusut drastis dari sebelumnya 400 hektar. Ia juga mengatakan peristiwa kebakaran itu juga mengakibatkan belasan jenis anggrek hutan punah.
   
    ”Sebelum kebakaran ada 72 jenis anggrek di tempat ini, tapi sekarang tinggal 57 jenis saja,” ujarnya.
   
    Kebakaran juga sempat terjadi pada awal tahun 2007 yang melumat hutan yang berada di kawasan itu. Pohon besar yang dulu tumbuh rapat dan mengelilingi hutan anggrek kini tak ada lagi.
   
    Segala perubahan di cagar alam tersebut tentu berdampak pada makhluk hidup yang selama ini bergantung padanya. Didimus mengatakan Kersik Luwai juga menjadi tempat mencari makan bagi satwa seperti aneka burung, beruang madu, rusa, landak, trenggiling, hingga kancil.
   
    Namun, ia mengatakan banyak dari binatang tersebut sulit untuk ditemui di tempat itu terutama setelah hutan di sekeliling Kersik Luwai nyaris habis terbakar.
   
    Memasuki 11 tahun masa kerjanya menjaga tempat itu, Didimus tidak pernah hilang harap untuk menjaga kelestarian tempat itu.
   
    Mungkin di luar sana bukan Cuma orang seperti Didimus dan Yurang yang ingin hidup berdampingan dengan alam. Mungkin kelak lebih banyak lagi orang akan melindungi semua kehidupan yang masih tersisa di Kersik Luwai. Sebuah harmoni untuk mencipta kekayaan yang hakiki. 

*kenangan bertugas di rimba Kalimantan October 4th, 2007  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar